Elite PDIP Kawal Sidang Perdana Hasto, Hasto Sebut Dirinya Sebagai Tahanan Politik

1 month ago 2
ARTICLE AD BOX
JAKARTA, NusaBali - Sejumlah elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hadir dalam sidang perdana Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/3). Hasto sebagai terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap.

Elite PDI Perjuangan yang hadir dalam siding, yakni Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat, politikus PDI Perjuangan Guntur Romli, Ketua DPP Bidang Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Wakil Bendahara Bidang Eksternal Yuke Yurike, Ketua DPP Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup Esti Wijayanti, hingga Wakil Sekjen Bidang Kesekretariatan Aryo Adhi Darmo.

Para elite partai berlambang banteng moncong putih itu duduk di tempat yang terpisah dalam ruang sidang. Selain itu, terdapat pula beberapa pendukung Hasto yang hadir menyaksikan persidangan mengenakan kaos hitam bertuliskan #HastoTahananPolitik dengan huruf berwarna merah putih, yang duduk di baris depan bangku ruang sidang. Para pendukung itu juga memakai pita merah putih di lengan dan menyerukan ‘Kami kawal Sekjen!’ dengan suara lantang, usai Hasto selesai mendengarkan pembacaan surat dakwaan.

Sidang perdana Hasto juga disiarkan di layar besar pada lobi Pengadilan Tipikor Jakarta agar para pengunjung sidang yang tidak bisa masuk ke ruangan tetap bisa menyaksikan sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan tersebut. Adapun ruangan sidang sudah dipenuhi oleh media massa dan penonton sidang lainnya yang hadir lebih awal. Dalam kasus itu, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka pada rentang waktu 2019-2024.

Hasto diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.

Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto tunjukkan pernyataan yang ditulisnya saat tiba di pengadilan. –IST 

Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK. Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.

Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Sementara itu Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto sebelum sidang dimulai menyampaikan dirinya adalah tahanan politik yang sedang mengalami kriminalisasi hukum, karena kepentingan kekuasaan. Hasto menyampaikan harapannya agar persidangan dirinya bisa dilaksanakan secara independen. “Sikap saya tetap tidak berubah. Apa yang terjadi adalah suatu bentuk kriminalisasi hukum, karena kepentingan kekuasaan di luar sana. Jadi, saya adalah tahanan politik,” kata Hasto. Pernyataan Hasto itu, dituliskan pula di selembar kertas dengan bolpoin bertinta biru.

“Akhirnya, momentum yang saya tunggu tiba. Proses persidangan terhadap kasus hukum yang dipaksakan oleh KPK bisa dimulai pada hari ini. Saya percaya terhadap independensi lembaga peradilan ini, sehingga diharapkan dapat menjadi lambang supremasi penegakan hukum yang berkeadilan," kata Hasto. Sebab itulah, lanjut Hasto, hakim dalam mengambil keputusan selalu menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hasto mengatakan, dia sudah membaca surat dakwaan dengan sangat cermat, dan hampir semuanya merupakan produk daur ulang. "Semua ini adalah produk daur ulang dari perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah," kata Hasto.

Menurut Hasto, begitu banyak manipulasi terhadap fakta-fakta hukum. Setidaknya ada minimal 20 keterangan yang sengaja dibuat berbeda antara dakwaan, keterangan saksi, dan putusan pengadilan yang sudah inkrah. "Perlu rekan-rekan pers ketahui bahwa proses P21 juga terlalu dipaksakan. Sebagai tersangka, kami telah mengajukan saksi yang meringankan. Namun, saksi yang namanya sudah dikirimkan ke KPK ternyata tidak pernah diperiksa," jelas Hasto.

Saat P21, lanjut Hasto, dia sedang dalam kondisi sakit (radang tenggorokan dan kram perut akibat terlalu semangat berolahraga). Namun, proses itu tetap dipaksakan, sehingga hak-hak Hasto sebagai terdakwa sengaja dilanggar. "Ini adalah pelanggaran HAM yang sangat serius," imbuh Hasto.
Proses P21 di KPK rata-rata berlangsung 120 hari, tetapi kata Hasto, justru dia diproses hanya dalam waktu kurang lebih dua minggu. "Mengapa? Karena tujuannya untuk menggugurkan proses praperadilan yang kedua. Persoalan yang saya hadapi juga tidak menimbulkan kerugian negara. Jadi, tidak ada kerugian negara," papar Hasto.

Memproses kembali perkara yang sudah inkrah, sambung Hasto, nyata-nyata menciptakan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang telah diputuskan oleh pengadilan sebelumnya. "Inilah muatan kriminalisasi politik. Saya berjuang demi nilai-nilai demokrasi, menjaga konstitusi, serta melindungi peradaban Indonesia yang seharusnya dibangun di atas supremasi hukum. Betul?," kata Hasto.

Perkataan Hasto itu, dijawab “Betul!” oleh pengunjung sidang. "Jadi, ini terjadi akibat abuse of power. Mohon doanya. Saya akan menghadapi semuanya dengan kepala tegak dan senyuman di wajah. Karena proses daur ulang ini sangat kental dengan muatan politik. Terima kasih. Satyam Eva Jayate. Merdeka!," imbuh Hasto. Usai sidang, Hasto mengatakan, dia telah mendengarkan dengan seksama dan cermat seluruh surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum. Dari situ, dia semakin meyakini itu adalah kriminalisasi hukum. "Ini adalah pengungkapan suatu pokok perkara yang sudah inkrah, yang didaur ulang karena kepentingan politik di luarnya,” ucap Hasto.

Hasto menyatakan, bahwa dirinya mengikuti seluruh proses hukum dengan sebaik-baiknya karena meyakini bahwa keadilan akan ditegakkan. Dia menegaskan, bahwa Republik Indonesia dibangun dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan bangsa, yang semuanya demi membangun negara hukum. “Tanpa supremasi hukum, tanpa keadilan, dan ketika proses hukum yang sudah inkrah bisa didaur ulang kembali, maka Republik ini tidak akan berdiri kokoh. Jangankan untuk membangun, menghadirkan investor pun akan sia-sia tanpa supremasi hukum,” tegasnya.

Dia berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh anak bangsa untuk terus memperjuangkan cita-cita menegakkan hukum yang berkeadilan.

“Semoga ini menjadi pelajaran terbaik bahwa cita-cita menegakkan hukum yang berkeadilan adalah cita-cita seluruh anak bangsa. Terima kasih,” terang Hasto. 7 k22, ant
Read Entire Article