ARTICLE AD BOX
Festival dibuka langsung oleh Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya, didampingi Rai Wahyuni Sanjaya, dengan penabuhan kulkul sebagai tanda dimulainya acara. Turut hadir Wakil Bupati I Made Dirga dan istri, Ketua DPRD, Forkopimda, serta jajaran perangkat daerah.
Dalam sambutannya, Bupati Sanjaya menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah dalam mendukung pelestarian budaya sejak usia dini.
“Ogoh-ogoh mini ini adalah bagian dari Festival Singasana II yang juga melibatkan ogoh-ogoh dewasa. Antusiasme anak-anak, orang tua, dan sekaa teruna menunjukkan betapa pentingnya pelestarian budaya dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan,” ujarnya.

Bupati menegaskan bahwa Festival Ogoh-Ogoh Singasana akan menjadi agenda rutin menjelang Hari Raya Nyepi. “Kegiatan ini bukan hanya ritual budaya, tapi juga wadah ekspresi dan kreativitas generasi muda. Pemerintah akan terus memfasilitasi, tergantung antusiasme masyarakat,” tambahnya.
Pawai Ogoh-Ogoh Mini menampilkan berbagai karya kreatif anak-anak TK, dibantu para guru dan orang tua. Setiap peserta mendapatkan dana partisipasi sebesar Rp10 juta sesuai arahan Bupati.
Rai Wahyuni Sanjaya yang juga Bunda PAUD Kabupaten Tabanan turut mengapresiasi semangat para peserta. “Anak-anak inilah pelestari budaya kita ke depan. Semoga kegiatan seperti ini terus berlanjut setiap tahun,” katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan I Made Yudiana mengungkapkan, kegiatan ini tak lepas dari dukungan penuh Bupati dan jajaran. “Kami mewakili anak-anak TK menghaturkan terima kasih atas ruang, waktu, dan anggaran yang diberikan untuk mendukung kreativitas mereka,” ujarnya.
Sementara itu, pada parade ogoh-ogoh dewasa, tema pelestarian lingkungan diangkat sebagai pesan utama. Sebagian besar karya menggunakan bahan ramah lingkungan.
Salah satu ogoh-ogoh yang menarik perhatian warga adalah Amuk Sang Wananing Bhuta Raja, karya Sekaa Teruna Mekar, Banjar Meliling Kangin, Kecamatan Kerambitan. Arsitek ogoh-ogoh ini, I Gede Widiantara, menjelaskan bahwa tokoh tersebut menggambarkan amarah penguasa hutan atas kerusakan alam akibat ulah manusia.
“Pesan kami jelas, agar manusia kembali mencintai alam, menjaga hutan, dan merenungi dampak kerusakan lingkungan,” ujar Widiantara. Ogoh-ogoh bermuka gajah ini digarap selama tiga bulan dan dipastikan tanpa kendala dana.
Bendesa Adat Meliling, I Nyoman Sukarya, menyampaikan kebanggaannya karena karya dari wilayahnya kembali terlibat dalam parade. Ia berharap pemerintah terus mendukung ajang-ajang budaya seperti ini.
Bupati Sanjaya menegaskan pentingnya orisinalitas dalam seni ogoh-ogoh dan meminta para juri menilai dengan adil dan profesional. Ia juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan alat musik tradisional seperti gong dan tektekan, bukan sound system, demi menjaga nilai-nilai budaya lokal.
“Untuk memperkuat dan melestarikan budaya Bali, tahun depan festival seperti ini akan kembali digelar, lebih megah dan meriah. Ini bagian dari pembangunan jilid dua menuju Tabanan Era Baru yang madani,” pungkas Bupati Sanjaya.