ARTICLE AD BOX
Tradisi yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2020 ini disakralkan krama setempat sebagai ungkapan syukur atas tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah.
Tradisi Bukakak ini dilaksanakan setiap dua tahun sekali secara turun temurun oleh krama Desa Adat Sangsit Dangin Yeh. Awalnya tradisi Bukakak digelar pada Purnamaning Jyesta. Namun sejak tahun 1985, pelaksanaan tradisi ngusaba desa dan Bukakak ini digeser ke Purnamaning Kadasa, karena saat itu berbenturan dengan pelaksanaan Pemilu.
Ketua Panitia Wayan Sunarsa ditemui sebelum pengarakan Bukakak mengatakan tradisi ini muncul saat Kerajaan Daha Panjalu berkuasa, yakni pada tahun 1183-1193 Masehi pada masa kepemimpinan Raja Sri Aji Jaya Pangus. Saat itu pertaniannya sangat kuat di daerah Gunung Sekar (nama sebelum menjadi Desa Giri Emas). Namun krama Gunung Sekar pada masa itu terbagi menjadi dua sekte, yakni sekte Wisnu dan sekte Siwa Sambu.
Tradisi ini pun digelar dengan tujuan untuk menyatukan dua sekte tersebut menjadi konsep Dwi Tunggal dengan lambang pemujaan Nandi-Garuda yang diwujudkan dalam bentuk Bukakak. “Nandi itu lembu kendaraan Dewa Siwa dan Garuda kendaraan Dewa Wisnu, dua konsep ini disimbolkan dalam bentuk Bukakak yang dibuat dari batang bambu serta bentuk hiasan dari daun ambu (enau muda) di ujungnya berisi bunga pucuk merah. Di tengahnya ditempatkan sarana berupa babi hitam lebeng-matah (matang setengah, mentah setengah), babi dikuliti setengah, dibiarkan berbulu setengah. Kemudian bagian tengahnya dipanggang sampai berwarna merah,” ucap Sunarsa.
Krama Pasek Bedulu bertugas khusus membuat sarana Bukakak di Pura Subak. Setelah sarana Bukakak ini selesai, baru akan dilanjutkan dengan sejumlah ritual. Krama desa yang akan mengikuti tradisi ini terbagi menjadi dua. Krama desa yang masih lajang akan menggunakan kostum bernuansa putih dan kuning, sebagai simbol keharmonisan. Krama lajang ini bertugas mengusung sarad (alat mengusung arca dewa dewi) dari 7 parahyangan (pura) yang ada di wewidangan desa adat.
Lalu krama yang sudah berkeluarga menggunakan pakaian bernuansa putih merah yang melambangkan penyatuan akasa (langit) dan pertiwi (bumi). Pengusung sarad maupun bukakak sebagian juga merias wajah mereka dengan make up yang aneh dan nyeleneh. Hal ini dijelaskan Sunarsa, untuk menyerupai wong samar yang selama ini menjaga sawah dan kebun petani dari serangan hama penyakit. Krama yang akan mengusung sarad dan Bukakak wajib mengikuti upacara mejaya-jaya di Pura Pancoran Mas yang juga ada di wewidangan Desa Adat Sangsit Dangin Yeh. Ritual ini untuk memohon restu dan pembersihan sebelum mengikuti ritual Bukakak.
Selanjutnya krama bergerak ke Pura Gunung Sekar untuk mapiuning (memohon restu dan keselamatan) untuk melaksanakan ritual. Setelah itu krama pengusung akan menjemput Bukakak ke Pura Subak dan membawanya ke Pura Gunung Sekar untuk dipasupati. Barulah setelah prosesi itu selesai, krama akan mengusung sarad dan bukakak ke rute yang telah ditentukan. Kali ini akan menuju Pura Kaja yang ada di wewidangan Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng.
Sunarsa menyebut penentuan rute pengarakan Bukakak tidak sembarangan. Krama desa pada H-3 kegiatan akan melaksanakan upacara metata titi, memohon petunjuk niskala pada Dewa-Dewi yang dipuja. Petunjuk niskala rute pengarakan Bukakak ini pun harus dilaksanakan. Bahkan dari yang sudah-sudah, Bukakak Giri Emas pernah diarak sampai Desa Pengastulan, Seririt, Pura Labuhan Aji, Desa Temukus di Kecamatan Banjar. Pura Desa Buleleng, Kelurahan Paket Agung, Buleleng, Desa Bulian Kecamatan Kubutambahan, Desa Menyali di Kecamatan Sawan dan daerah lainnya dengan jarak yang cukup jauh.
“Magis dan sakralnya tradisi Bukakak ini kami yakini, begitu ada petunjuk rute, meskipun jauh krama kami yang mengusung mendapat kekuatan usai upacara mejaya-jaya dan pasupati. Meskipun jaraknya lebih dari 10 kilometer dengan medan berat sekalipun tetap kuat berjalan, magisnya di sana,” terang mantan Perbekel Giri Emas ini.
Sementara itu tradisi Bukakak yang menjadi kebanggaan Desa Giri Emas ini diniatkan untuk tetap dilestarikan oleh 800 KK warga desa. Tradisi ini masih lestari sampai saat ini dengan keberadaan 65 hektare lahan sawah yang diolah oleh 80 orang krama subak. Hadir pada ritual Ngusaba Bukakak kemarin, yakni Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra dan Wakil Bupati I Gede Supriatna bersama sejumlah tokoh di Kabupaten Buleleng. Kehadiran pimpinan daerah pada tradisi-tradisi keagamaan menjadi salah satu perwujudan mengimplementasikan visi misi pasangan kepala daerah tersebut yakni Nangun Sad Kertih Loka Bali di Kabupaten Buleleng, dimana salah satu poin penting terkait pembangunan di bidang agama, adat dan budaya. 7 k23