ARTICLE AD BOX
Hal tersebut dibahas dalam diskusi kecil Wakil Bupati (Wabup) Buleleng Gede Supriatna bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) serta Dewan Pendidikan Buleleng, di ruang kerja Wabup, Senin (14/5).
Kasus disleksia yang dimunculkan Dewan Pendidikan ini sudah diverifikasi Disdikpora Buleleng. Terbaru, data Disdikpora Buleleng mengkonfirmasi jumlah siswa SMP yang mengalami kesulitan membaca dan menghitung sebanyak 363 orang. Sebanyak 155 orang diantaranya dinyatakan Tidak Bisa Membaca (TBM) dan 200 orang dikategorikan Tidak Lancar Membaca (TLM).
Kasus disleksia ini setelah ditelusuri, penyebab tertingginya karena kurang motivasi dari siswa bersangkutan sebesar 52 persen. Lalu faktor kurang dukungan keluarga 18 persen, Disleksia (16 persen, disabilitas 9 persen dan karena pembelajaran tidak tuntas 5 persen.
Faktor internal pemicu kesulitan baca hitung diantaranya disebabkan motivasi belajar rendah, kemampuan kognitif rendah, mengalami gangguan belajar dan kurangnya minat membaca. Selain itu juga dipengaruhi faktor eksternal. Diantaranya efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (daring), kesenjangan literasi di jenjang SD, pemahaman keliru tentang kurikulum merdeka. Termasuk juga kekhawatiran guru terhadap ancaman hukum dan stigma sosial, tekanan sosial dan politik terhadap guru, hingga dampak lingkungan dan keluarga.
“Faktor penyebabnya sangat kompleks, sehingga perlu disinergikan dan dikolaborasikan penangannya. Terlebih dari data itu penyebab dominan di internal anak dan masalah sosial keluarga. Kami harap semua pihak peduli dengan pendidikan. Tidak hanya diserahkan ke sekolah saja, peran serta bimbingan orang tua di rumah juga sangat diperlukan,” terang Supriatna.
Salah satu skema penanganan yang muncul dalam diskusi yakni dengan menambah jam belajar bagi siswa yang mengalami kesulitan membaca dan menghitung. Mereka akan mendapatkan intervensi dan bimbingan lebih dari guru. Selain itu juga direncanakan untuk membentuk relawan dari perguruan tinggi, melalui program pengabdian masyarakat.
Supriatna pun menyarankan Disdikpora Buleleng mengevaluasi kebijakan pembatasan gadget ke sekolah untuk siswa. Hal tersebut dinilainya sangat penting agar siswa lebih konsentrasi belajar. “Karena ada temuan, anak tidak bisa menulis, tapi kalau mengetik di komputer atau HP lancar. Bukan mengesampingkan teknologi, tetapi membuat anak bisa maksimal belajar,” imbuh pejabat asal Desa/Kecamatan Tejakula Buleleng ini.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Buleleng Dr I Made Sedana mengatakan, persoalan ini harus dituntaskan semua stakeholder. Dia pun berharap seluruh pihak melakukan perannya masing-masing. “Kalau faktor pelayanan pendidikan kurang ya harus dibenahi, tapi kalau faktor keluarga tentu harus dipahami juga, bahwa pendidikan itu urusan bersama. Tri Pusat Pendidikan harus dioptimalkan,” ungkap Sedana yang juga Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.
Sedana pun berharap seluruh perguruan tinggi di Buleleng negeri maupun swasta ikut berkontribusi menyelesaikan persoalan ini. Salah satunya dengan menerjunkan mahasiswa semester tinggi untuk membantu membina siswa yang mengalami kendala.
“Jadi persoalan ini muncul untuk kita selesaikan bersama. Bukan untuk ditutupi atau mendiskreditkan salah satu pihak,” tegas dia.7 k23