ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Desa Adat Sempidi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung bersiap membangkitkan kembali kejayaan seni pertunjukan Barong khas mereka lewat Parade Ngelawang dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII tahun 2025. Dipentaskan pada 12 Juli 2025 mendatang di Taman Werdhi Budaya Art Centre Denpasar tepatnya di depan Gedung Kriya, pertunjukan ini bukan sekadar tampil, melainkan nostalgia terhadap masa keemasan Barong Sempidi yang disebut sebagai pionir Barong dance dan Kecak dance di Badung sejak era 1970-an.
Bendesa Adat Sempidi I Gusti Ngurah Martana, mengatakan seni pertunjukan Barong dan Kecak yang kini berkembang secara profesional di berbagai desa wisata, sesungguhnya bermula dari Sempidi. “Saya tidak ingat tahunnya, memang poinirnya di Desa Adat Sempidi kira-kira tahun 70-an. Nah, seiring dengan perkembangan zaman mungkin desa-desa lain juga tertarik untuk menopang pariwisata Bali dalam pertunjukan tradisional dance ini,” ujar Martana saat ditemui di Wantilan Pura Desa Jalan Langon No 1, Sempidi, Badung, Minggu (25/5) malam.
Dia menjelaskan, dari Sempidi seni pertunjukan ini menyebar ke wilayah lain seperti Batubulan, Kesiman, dan lainnya hingga berkembang megah seperti di kawasan Uluwatu. “Maka dari itulah entah mereka yang dari luar yang minta, apakah inisiatif dari para artis kita di sini yang memberikan pelajaran kepada desa-desa lain yang ingin mengembangkan tarian itu, sehingga akhirnya sekarang berkembang di beberapa desa di Bali,” sambungnya.
Barong dan kecak di Sempidi, kata Ngurah Martana, murni dikembangkan sebagai hiburan. Bahkan sempat berdiri patung Barong di depan Wantilan Pura Desa sebagai simbol bahwa desa tersebut menjadi pelopor pertunjukan Barong. “Sayang sekali patung Barong itu kita temukan saat merenovasi, ditanam di bawah lantai ini waktu dapat hibah wantilan ini. Tapi saya tidak tahu kenapa alasannya padahal itu ikon kita Desa Sempidi,” kenangnya.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur, generasi muda Sempidi yang tergabung dalam yowana desa akan tampil membawakan Parade Ngelawang dengan lakon Barong Sempidi. Martana berharap penampilan ini menjadi momen mengenang sejarah seni pertunjukan yang pernah harum dari desa mereka. “Kita berusaha untuk bernostalgia menampilkan Barong Dance itu. Ya mungkin semacam mengenang sejarah ya supaya kita tidak lupa,” tandasnya.
Senada dengan itu, pimpinan Sanggar Seni Tindak Alit I Putu Candra Pradita. Dia menyampaikan pementasan Barong Sempidi bukan semata demi PKB, melainkan sebuah gerakan pewarisan dan pelestarian. “Saya sebagai pimpinan Sanggar Tindak Alit yang mendapat kesempatan untuk tampil di PKB sebagai Duta Kabupaten Badung, di sini saya mengangkat Barong Sempidi di mana itu merupakan warisan yang selama ini masih tertidur,” ujarnya.
“Kami dari Sanggar Seni Tindak Alit menggandeng yowana dari 10 sekaa teruna di Desa Adat Sempidi khususnya, untuk menjadi pelaku di sana. Dari pelaku tersebut akan menjadikan bibit-bibit baru, kemudian bibit-bibit ini akan membangunkan kembali apa yang sudah tertidur,” lanjut dosen di Institut Seni Indonesia Bali ini.
Dalam prosesnya, Candra sempat mewawancarai para seniman tua yang pernah terlibat dalam pertunjukan Barong Sempidi era 1960-1970-an. Dari mereka, dia mendapatkan sari-sari pementasan yang kini coba direkonstruksi. Sebagai bagian dari penampilan nanti, dia juga akan menampilkan artefak Barong peninggalan masa tersebut. Harapannya, kebangkitan Barong Sempidi tidak berhenti di ajang PKB, melainkan dapat terus berkembang menjadi identitas budaya yang lestari bagi desa.
Pertunjukan nanti akan mengangkat lakon klasik yang hampir serupa dengan pertunjukan Barong di Batubulan, yakni kisah ‘Kunti Sraya.’ Cerita ini menggambarkan pergulatan batin Dewi Kunti yang memiliki perjanjian dengan Dewi Durga. Dalam perjanjian tersebut, Dewi Durga meminta salah satu anak dari Pandawa, yakni Sahadewa, untuk dijadikan tumbal.
Dewi Kunti yang menyadari Sahadewa bukan anak kandungnya tetap bertanya kepada Sahadewa apakah bersedia menerima takdir tersebut. Dengan penuh ketulusan dan kasih sayang, Sahadewa bersedia menjalani perjanjian sebagai bentuk pengabdian kepada sang ibu. Di tengah perjalanan cerita, Dewi Durga ternyata tidak mampu menjadikan Sahadewa sebagai tumbal. Justru sebaliknya, dia memohon pangruwatan sebuah proses pemurnian atau pembersihan diri secara spiritual agar dapat kembali ke alam Siwaloka. Kisah ini ditutup dengan pertarungan antara Sahadewa dan Dewi Durga, yang pada akhirnya berakhir damai setelah Sahadewa berhasil meruwat Durga.
Total ada sekitar 60 orang yang akan terlibat dalam Parade Ngelawang, terdiri dari penari, penabuh, hingga pembawa atribut seperti umbul-umbul dan uparengga. “Materinya untuk persiapan kita sudah hampir 60-70 persen lah. Tinggal latihan-latihan bersama dengan penari dan penabuh. Untuk tabuh kita sudah rampung 90 persen karena kita belum mencari gending pejalan, istilahnya gending pejalan itu kita nanti mengelilingi areal Taman Budaya,” sebutnya. 7 t